Siapa tak kenal Mading atau Majalah Dinding. Kumpulan tulisan, gambar, foto, coretan, puisi, cerpen atau sekedar titip salam yang selalu nempel di dinding sekolah. Juga di dinding kelas. Jangan-jangan, orang-orang media dulunya juga aktifis mading sekolah. Boleh jadi, Mading atau Majalah Dinding adalah media pertama yang menampung segala hasil karya kita?


Mading, ada juga yang menyebutnya Mabok -Majalah Tembok, merupakan media efektif untuk pembelajaran menulis di sekolah. Tidak sekedar menulis. Siswa juga diajak untuk kreatif. Mencari ide. Berburu berita atau hunting seperti wartawan. Bahkan, Mading juga memberi ruang yang luas bagi yang gemar seni. Seni rupa, seni lukis atau seni yang lain. Setelah semua bahan terkumpul, tim mading pun mulai diskusi. Semacam rapat redaksi. Memilih dan memilah materi yang layak tampil. Lalu, me-layout dan menempel. Tidak boleh memaksakan kehendak. Pendeknya, sebuah karya mading merupakan hasil kolaborasi berbagai unsur kecerdasan siswa di sekolah.
Di banding pembuatan Majalah Sekolah atau Newspaper Design/ koran sekolah, biaya pembuatan mading jelas lebih murah. Meriah lagi. Jadi keberadaan Mading, adalah sebuah keharusan di sekolah yang sangat menjunjung kekebasan berekspresi.

Jika awalnya Mading tampil biasa, 2 dimensi, apa adanya, ternyata beberapa tahun terakhir Mading bisa tampil luar biasa. Tidak sekedar tempel menempel. Di era tahun 2000-an, Mading sudah berbentuk 3 dimensi. Ukurannya bisa kecil. Ada pula yang gede. Mencapai hampir 2 meter x 2 meter x 2 meter. Kalau mading 2 dimensi membuatnya cukup 2-3 jam, Mading 3 dimensi perlu waktu mingguan bahkan bisa sebulan lebih!.

Tak hanya ukuran. Tema Mading modern juga tampil beda dan berani. Banyak isu-isu aktual yang menjadi tema sebuah mading. Bahkan kadang-kadang kita tidak habis pikir bagaimana, anak-anak muda ini menemukan ide. Contoh tema Mading: Bhinneka Tinggal Nama, Indonesia Need Hero, Bharatayudha, adalah contoh tema-tema “berat” yang pernah diusung di ajang lomba mading. Tema lain tidak kalah keren. Misal Metrosexual yang mengkritisi gaya hidup anak muda di kota besar. Ada pula judul mading Mbah Marijan, menceritakan sosok juru kunci Gunung Merapi yang hidup sederhana secara detil. Revolusi mading tidak hanya di tema dan ukuran. Visual dan performa mading juga mengalami perubahan luar biasa. Kalau Mading jadul hanya diam, nempel di dinding.

Jadinya, mading-mading yang sudah eye catching itu makin menarik penonton untuk mereka membaca, menikmati dan berinteraksi. Ya, banyak mading yang diciptakan untuk berinteraksi dengan penonton. Entah sekedar tebak-tebakan, main game, bahkan tembak tembakan. So..penikmat mading tentu saja bukan anak remaja. Usia TK, SD bahkan sampai kakek-kakek pun sekarang lebih menyukai mading!.


Lalu, Dimana mading – mading itu dapat dinikmati? Datang saja tiap 3 Minggu Sekali di SMK Negeri 7 Malang, yang mampu menjadi magnet dan mewadahi anak muda SKAVELA untuk berkompetisi secara sehat di bidang jurnalistik, mading khususnya.



Tanpamu, gairah dan kreatifitas anak muda Malang khususnya – Jawa Timur umumnya tak kan seperti sekarang ini. Namun, mading adalah bagain kecil dari SKAVELA. Saat kegiatan ini digelar, banyak kompetsisi lain yang dilombakan. Pokoknya seru dan keren. Selamat berkompetisi!